Saturday, April 19, 2014

Gadget Addict vs Be Present


“Handphone mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”
//

Attitude negatif yang dimiliki oleh pemuda masa kini adalah, “Gadget Addict”

Saya pernah bertemu dengan beberapa orang yang “Gadget Addict”. Sangat menjengkelkan ketika seharusnya kita bertemu dan berbicara, namun malah lawan bicara kita asik sendiri dengan handphone nya. Sangat sering saya melihat ataupun mengalami situasi dimana sekumpulan pemuda berkumpul, bukanya ngobrol tapi malah asik dengan handphone sendiri.

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa manghargai orang lain itu penting. Ketika berkumpul dengan orang lain, sebaiknya buang jauh-jauh gadgetmu apalagi saat dalam situasi yang penting. Sangat tidak menyenangkan dicuekin karena asik dengan hape masing-masing.

Saya pernah berinteraksi dengan dua teman yang gadget addict namun beda tipe, ada yang terlihat sangat sibuk sehingga dia selalu melihat layar handphone nya bahkan saat rapat. Satu tipe lagi adalah orang yang senang pacaran melalui media sosial melalui handphone tanpa melihat tempat dan waktu.

Keduanya cukup menyebalkan.

Teman saya yang pertama memang dia adalah orang yang sibuk dan mempunyai segudang prestasi. Namun se hebat apapun orang, menurut saya akan sangat tidak etis ketika saat berdiskusi atau membiacarakan hal penting malah asik sendiri dengan handphone nya. Pernah suatu ketika saya dan teman-teman mengadakan rapat, dimana teman saya itu adalah salah satu peserta rapat. Saat itu kami sangat asik berdiskusi, brainstorming, mengutarakan pendapat dan ide. Saat itu satu persatu peserta diharapkan menyumbang sebuah ide lalu di tanggapi oleh yang lain. Saya perhatikan teman saya tersebut sering sekali melihat handphone, mengetik-ngetik sesuatu dan saya yakin pikiran dia tidak ada di tempat rapat. Ketika teman-teman sedang menyindirnya, dia sama sekali tidak peka dan saat giliran dia harus mengutarakan ide, dia malah kebingungan dan reflek bilang
“heh?”

Kata “heh?” itu menunjukan bahwa dia tidak sedang ada di tempat yang seharusnya. Saya perhatikan dari rapat ke rapat memang dia sering sekali bermain dengan hapenya, dan itu tidak terjadi hanya sekali. Bahkan saat saya mencoba berbicara face to face di suatu kesempatan, ternyata memang teman saya tersebut tetap saja sama perilakunya: asik dengan hapenya sendiri

Memang dia orang yang hebat, namun karena kelakuanya tersebut, respect saya terhadap dia menjadi berkurang. Dan saya yakin semua orang akan merasa terganggu jika berhadapan dengan orang tersebut.

Teman saya yang satunya, beda tipe. Saya pernah bekerja sama dengan dia dalam sebuah proyek, namun sikapnya itu menghambat komunikasi. Sepanjang proyek tersebut saya hanya menahan perasaan sebal. Dia sering sekali asik dengan hapenya, dan saya telusuri ternyata dia pacaran dengan pacarnya di seberang sana. It’s oke jika memang ada hal penting yang harus dibicarakan melalui media sosial, namun yang dia lakukan adalah hal yang menurut saya kurang begitu sesuai pada tempatnya. Di lain kesempatan, saya perhatikan dia dari waktu ke waktu, ternyata memang dia lebih asik dengan hapenya dibanding dengan teman-teman yang lain. Dan sepertinya teman saya itu orang yang susah bergaul dengan orang lain, dan cenderung sedikit memiliki teman. Karena mungkin banyak orang yang memilih untuk menjauh darinya karena sikapnya tersebut. Sikap tersebut, dalam system thinking, menyebabkan sebuah “reinforcing loop”, loop nya seperti ini 



berulang lagi dan lagi hingga menjadi loop yang semakin merugikan.

Saya tertarik dengan game “Stacking Phone”, (ini, ini dan ini), dimana saat berkumpul dan makan dengan teman, hape ditumpuk dan siapa yang pegang hape pertama kali, dia bayarin teman-teman yang lain. Sepertinya sangat seru dan menantang. Saya pernah mencobanya pada suatu rapat dan memang, rapat berjalan sangat kondusif, ide-ide tersampaikan dan banyak feedback dari para peserta.

Adanya game tersebut benar-benar menandakan bahwa kita semua cenderung telah gadget addict. Memang ada kalanya kita perlu menjawab pesan dari orang lain, tapi cobalah untuk be present. Dedy Dahlan seorang passion coach dalam bukunya “Lakukan dengan Hati” menganjurkan kita untuk “Be Present” artinya adalah beradalah dimana seharusnya kamu berada. Saat berkumpul, bertemu, berbicara, berinteraksi, berdiskusi, brainstorming ataupun curhat dengan orang lain, usahakan untuk selalu 100% berada di sana, bukan hanya raganya yang hadir, namun juga perasaan dan segala indra ikut hadir sepenuhnya. Akan sangat menyenangkan ketika dapat berinteraksi dengan lancar dan mendapatkan feedback satu dengan yang lain, dan saya yakin tidak ada ruginya untuk selalu “be present”. “Be present” juga merupakan bentuk menghargai orang lain. Dengan “Be present” banyak informasi yang ditangkap sehingga kita bisa menjadi lebih bijaksana.

Cobalah untuk be present, Be Present adalah sebuah bentuk kualitas hidup. Ketika kita “Be present”, maka kita akan mendapatkan quality time dengan orang lain. Hidup akan menjadi enjoy dan tenang jika kita “be present”.  


No comments:

Post a Comment